## Misteri Penonaktifan Fitur TikTok Live saat Demo Ricuh: Langkah Antisipatif atau Bentuk Sensor?
Demo berujung ricuh di Indonesia pada akhir Agustus lalu menyisakan sejumlah pertanyaan, salah satunya mengenai penonaktifan mendadak fitur TikTok Live. Fitur yang sebelumnya ramai digunakan warga untuk meliput dan menyaksikan langsung aksi demonstrasi di berbagai daerah, termasuk Jakarta, tiba-tiba tak dapat diakses. Kejadian ini memicu spekulasi publik dan menimbulkan pertanyaan besar: mengapa TikTok mengambil langkah drastis tersebut, dan apa tanggapan pemerintah atas keputusan perusahaan media sosial raksasa ini?
Sebelum aksi demonstrasi tersebut, TikTok Live menjadi media alternatif bagi masyarakat untuk menyaksikan jalannya unjuk rasa secara langsung. Warga dapat berbagi informasi secara real-time, turut serta dalam diskusi publik, dan bahkan beberapa UMKM memanfaatkannya sebagai platform penjualan. Namun, situasi berubah drastis ketika demonstrasi berujung anarkis dan kerusuhan. Aliran informasi yang cepat dan masif melalui siaran langsung dinilai berpotensi memperkeruh suasana, memperluas penyebaran informasi yang tidak terverifikasi, dan bahkan memicu provokasi.
Menanggapi pertanyaan publik, juru bicara TikTok memberikan penjelasan resmi. Mereka menyatakan bahwa penonaktifan sementara fitur TikTok Live merupakan langkah antisipatif untuk menjaga platform tetap aman dan kondusif. Dalam keterangan resminya, mereka menegaskan, “Sehubungan dengan meningkatnya kekerasan dalam aksi unjuk rasa di Indonesia, kami mengambil langkah-langkah pengamanan tambahan untuk menjaga TikTok tetap menjadi ruang yang aman dan beradab. Sebagai bagian dari langkah ini, kami secara sukarela menangguhkan fitur TikTok Live selama beberapa hari ke depan di Indonesia. Kami juga terus menghapus konten yang melanggar Panduan Komunitas dan memantau situasi yang ada.”
Namun, pernyataan tersebut memicu perdebatan. Apakah penonaktifan fitur ini murni langkah preventif untuk mencegah penyebaran informasi yang salah dan provokatif, atau ada tekanan lain yang melatarbelakangi keputusan tersebut? Pertanyaan ini semakin menguat mengingat kecepatan dan skala penonaktifan fitur tersebut.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Meutya Hafid, menegaskan bahwa keputusan penonaktifan fitur TikTok Live sepenuhnya merupakan inisiatif pihak TikTok. “Kami pun melihat pemberitahuan yang dilakukan oleh TikTok. Bahwa mereka melakukan secara sukarela untuk penutupan fitur live, dan kami justru berharap bahwa ini berlangsung tidak lama,” ujar Meutya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (31/8/2025). Hal senada disampaikan oleh Wakil Menkominfo Nezar Patria. Ia menekankan bahwa pemerintah tidak intervensi dalam keputusan ini dan bahwa TikTok masih memiliki banyak fitur lain yang dapat digunakan masyarakat, termasuk UMKM untuk kegiatan penjualan.
Penutupan fitur TikTok Live tentunya berdampak signifikan, terutama bagi para pelaku UMKM yang mengandalkan platform tersebut untuk berjualan. Wakil Menkominfo pun mengakui dampak ini dan mengimbau agar UMKM mencari alternatif sementara untuk tetap menjalankan bisnis mereka. “Untuk kegiatan UMKM bisa juga menggunakan fitur-fitur yang selama ini dipakai untuk penjualan,” kata Nezar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (2/9/2025).
Kejadian ini menimbulkan pertanyaan penting tentang keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan keamanan publik dalam konteks media sosial. Bagaimana platform media sosial dapat berperan dalam menjaga keamanan publik tanpa membatasi kebebasan berekspresi? Perdebatan ini akan terus berlanjut, dan kasus penonaktifan fitur TikTok Live ini akan menjadi bahan kajian penting dalam regulasi dan pengelolaan media sosial di Indonesia ke depannya. Apakah langkah TikTok ini merupakan preseden yang akan ditiru platform lain dalam situasi serupa? Dan bagaimana memastikan agar tindakan serupa di masa mendatang tidak disalahartikan sebagai bentuk sensor? Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan jawaban dan diskusi yang lebih luas.